BATAS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PENGEMBANG ARTIFICIAL INTELLIGENCE PADA KEJAHATAN SIBER DI INDONESIA
Kata Kunci:
Artificial Intelligence, Kejahatan Siber, Pertanggungjawaban Pidana, Hukum Positif Indonesia, UU ITEAbstrak
Perkembangan teknologi Artificial Intelligence (AI) membawa dampak besar dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk munculnya peluang baru bagi terjadinya kejahatan siber. Salah satu isu penting yang muncul adalah mengenai batas pertanggungjawaban pidana pengembang AI dalam konteks hukum positif Indonesia. Permasalahan utamanya terletak pada bagaimana asas kesalahan yang menjadi dasar pemidanaan dalam hukum pidana dapat diterapkan terhadap pengembang yang keterlibatannya dengan tindak pidana sering kali bersifat tidak langsung. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dengan menelaah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik beserta perubahannya melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Undang-Undang No. 1 Tahun 2024, serta literatur hukum dan wacana internasional mengenai regulasi AI. Hasil kajian menunjukkan bahwa pengembang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana apabila terbukti secara sengaja menciptakan atau memodifikasi AI untuk melakukan atau memfasilitasi kejahatan siber, maupun apabila terbukti lalai dalam melaksanakan kewajiban kehati-hatian sehingga menimbulkan risiko penyalahgunaan. Jika penyalahgunaan AI dilakukan oleh pihak ketiga tanpa adanya kesalahan dari pengembang, maka tanggung jawab pidana tidak dapat dibebankan. Kondisi ini menunjukan adanya kekosongan norma dalam UU ITE yang belum mengatur secara spesifik posisi pengembang. Untuk menghindari ketidakpastian hukum, diperlukan pengaturan eksplisit mengenai batas pertanggungjawaban pengembang AI, termasuk kriteria kesalahan, indikator hubungan kausal, serta kewajiban due diligence. Dengan demikian, hukum Indonesia dapat memberikan kepastian hukum sekaligus mendorong iklim inovasi yang aman.
Perkembangan teknologi Artificial Intelligence (AI) membawa dampak besar dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk munculnya peluang baru bagi terjadinya kejahatan siber. Salah satu isu penting yang muncul adalah mengenai batas pertanggungjawaban pidana pengembang AI dalam konteks hukum positif Indonesia. Permasalahan utamanya terletak pada bagaimana asas kesalahan yang menjadi dasar pemidanaan dalam hukum pidana dapat diterapkan terhadap pengembang yang keterlibatannya dengan tindak pidana sering kali bersifat tidak langsung. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dengan menelaah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik beserta perubahannya melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Undang-Undang No. 1 Tahun 2024, serta literatur hukum dan wacana internasional mengenai regulasi AI. Hasil kajian menunjukkan bahwa pengembang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana apabila terbukti secara sengaja menciptakan atau memodifikasi AI untuk melakukan atau memfasilitasi kejahatan siber, maupun apabila terbukti lalai dalam melaksanakan kewajiban kehati-hatian sehingga menimbulkan risiko penyalahgunaan. Jika penyalahgunaan AI dilakukan oleh pihak ketiga tanpa adanya kesalahan dari pengembang, maka tanggung jawab pidana tidak dapat dibebankan. Kondisi ini menunjukan adanya kekosongan norma dalam UU ITE yang belum mengatur secara spesifik posisi pengembang. Untuk menghindari ketidakpastian hukum, diperlukan pengaturan eksplisit mengenai batas pertanggungjawaban pengembang AI, termasuk kriteria kesalahan, indikator hubungan kausal, serta kewajiban due diligence. Dengan demikian, hukum Indonesia dapat memberikan kepastian hukum sekaligus mendorong iklim inovasi yang aman.
The development of Artificial Intelligence (AI) technology has had a significant impact on various aspects of life, including the emergence of new opportunities for cybercrime. One important issue that has emerged is the limits of criminal liability for AI developers within the context of Indonesian positive law. The main problem lies in how the principle of fault, which is the basis for criminal punishment in criminal law, can be applied to developers whose involvement in criminal acts is often indirect. This study uses a normative juridical approach by examining the Criminal Code (KUHP), Law Number 11 of 2008 concerning Electronic Information and Transactions and its amendments through Law Number 19 of 2016 and Law Number 1 of 2024, as well as legal literature and international discourse on AI regulation. The results of the study indicate that developers can be held criminally liable if proven to have intentionally created or modified AI to commit or facilitate cybercrime, or if proven negligent in carrying out their duty of care, thus creating a risk of misuse. If the misuse of AI is carried out by a third party without any fault on the part of the developer, criminal responsibility cannot be imposed. This situation indicates a gap in the ITE Law, which does not specifically regulate the position of developers. To avoid legal uncertainty, explicit regulations are needed regarding the limits of AI developers' liability, including criteria for fault, indicators of causal relationships, and due diligence obligations. This way, Indonesian law can provide legal certainty while fostering a safe innovation climate