Psikofusi: Jurnal Psikologi Integratif https://ojs.co.id/1/index.php/pjpi id-ID Psikofusi: Jurnal Psikologi Integratif KAJIAN SELF HEALING UNTUK MENGATASI GRIEF AKIBAT KEMATIAN ORANG TUA STUDI FENOMENOLOGI PADA REMAJA https://ojs.co.id/1/index.php/pjpi/article/view/3084 <p>Kematian orang tua merupakan pengalaman traumatis yang dapat meninggalkan dampak psikologis mendalam bagi remaja. Pada masa transisi perkembangan menuju kedewasaan, kehilangan figur orang tua dapat menimbulkan grief yang kompleks, meliputi gejala emosional, sosial, dan kognitif seperti kesedihan mendalam, penarikan diri, gangguan tidur, serta penurunan motivasi akademik. Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi bagaimana remaja memaknai dan menjalani proses self healing dalam menghadapi grief akibat kematian orang tua. Dengan menggunakan pendekatan kualitatif metode fenomenologi, studi ini melibatkan lima remaja berusia 15–18 tahun yang mengalami kehilangan dalam 1–3 tahun terakhir. Data dikumpulkan melalui wawancara mendalam dan observasi partisipatif, kemudian dianalisis menggunakan interpretative phenomenological analysis (IPA). Hasil penelitian menunjukkan bahwa praktik self healing yang dilakukan remaja meliputi journaling, meditasi dan mindfulness, aktivitas seni, serta keterlibatan dalam kegiatan spiritual. Praktik-praktik ini terbukti membantu remaja dalam mengekspresikan emosi, meningkatkan kesadaran diri, dan menerima kenyataan kehilangan. Efektivitas self healing bergantung pada keterlibatan aktif individu serta dukungan sosial dari lingkungan terdekat seperti keluarga, teman, dan guru. Temuan ini menunjukkan bahwa self healing dapat menjadi strategi pemulihan psikologis yang adaptif dan relevan bagi remaja dalam menghadapi duka, sekaligus membuka ruang bagi pengembangan intervensi berbasis psikososial yang lebih empatik dan kontekstual.</p> Nurul Anisah Mochamad Nursalim Najlatun Naqiyah Bakhrudin All Habsy Hak Cipta (c) 2025 Psikofusi: Jurnal Psikologi Integratif 2025-05-30 2025-05-30 7 5 PENGARUH MOTIVASI BELAJAR TERHADAP PRESTASI BELAJAR PADA MAHASISWA PENERIMA BEASISWA KARTU INDONESIA PINTAR KULIAH (KIP-K) DI UNIVERSITAS NUSA CENDANA KUPANG https://ojs.co.id/1/index.php/pjpi/article/view/2988 <p>Motivasi merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi prestasi belajar. Seseorang yang memiliki motivasi mempunyai kecenderungan untuk mencurahkan segala kemampuannya untuk mendapatkan prestasi belajar yang optimal sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Semakin tinggi motivasi yang dimiliki mahasiswa akan mendorong mahasiswa belajar lebih giat lagi dan frekuensi belajarnya menjadi semakin meningkat, sehingga prestasi belajarnya pun meningkat. Akan tetapi kuat dan lemahnya motivasi setiap orang berbeda, hal itu dipengaruhi oleh faktor cita-cita atau aspirasi, kemampuan belajar, kondisi siswa, kondisi lingkungan mahasiswa, unsur-unsur dinamis dalam belajar dan upaya dosen dalam memberikan pembelajaran bagi mahasiswa. Namun, kebenaran argument ini perlu dibuktikan melalui kegiatan penelitian agar diperoleh jawaban yang akurat. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui seberapa besar pengaruh motivasi belajar terhadap prestasi belajar. Metode penelitian yaitu penelitian kuantitatif. Sampel dalam penelitian ini berjumlah 365 partisipan yang merupakan mahasiswa penerima beasiswa Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIP-K) di Universitas Nusa Cendana Kupang. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh motivasi belajar terhadap prestasi belajar mahasiswa penerima beasiswa Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIP-K) di Universitas Nusa Cendana Kupang. Kesimpulan dalam penelitian ini adalah motivasi belajar sangat berpengaruh terhadap prestasi belajar dan memiliki arah hubungan yang positif yang digambarkan dengan hasil analisis uji regresi linear sederhana dan uji parsial (uji t) sebesar 0,00 &lt;0,05. Artinya jika motivasi belajar tinggi maka prestasi belajar akan meningkat, dan sebaliknya jika motivasi belajar rendah maka prestasi belajar akan menurun.</p> <p>&nbsp;</p> <p><em>Motivation is one of the important factors that affect learning achievemant. A person who has motivation tends to devote all his abilities to get optimal learning achievement according to the expected goals. The higher the motivation of students, the more it will encourage students to study harder and the frequency of learning will increase, so that their learning achievement will also increase. However, the strength and weaknes of each pearson’s motivation are different, it is influenced by factors of ideals or aspirations, learning ability, student conditions, student environmental conditions, dynamic elements in learning and teacher efforts in teaching students. However, the truth of this argument needs to be proven through research activities in order to obtain accurate answers. The purpose of this study is to determine the extent to which learning motivation affects learning achievement. The research method is quantitative research. The sample in this study consisted of 365 participants who were students receiving the Indonesia Smart College Card (KIP-K) scholarship at Nusa Cendana University, Kupang. This research demonstrates that there is an influence of learning motivation on the academic achievement of students receiving the Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIP-K) scholarship at Nusa Cendana University in Kupang. The conclusion of this study is that learning motivation has a significant effect on learning achievement and has a positive relationship direction as described by the results of the simple linear regression test analysis and partial test (t-test) of 0,00 &lt; 0,05. This means that if learning motivation is high, learning achievement will increase, and vice versa if learning motivation is low, learning achievement will decrease.</em></p> Dance Almodat Natbais M. K. P Abdi Keraf Shela Christine Pello Hak Cipta (c) 2025 Psikofusi: Jurnal Psikologi Integratif 2025-05-30 2025-05-30 7 5 HUBUNGAN ANTARA QUARTER LIFE CRISIS DENGAN SUBJECTIVE WELL-BEING PADA GENERASI Z https://ojs.co.id/1/index.php/pjpi/article/view/3019 <p>Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara quarter life crisis dengan subjective well-being pada generasi Z yang berada dalam rentang usia 20–30 tahun. Quarter life crisis merupakan kondisi psikologis yang ditandai dengan kebingungan, kecemasan, dan ketidakpastian mengenai arah hidup, sementara subjective well-being mencerminkan evaluasi individu terhadap kualitas hidupnya secara kognitif dan afektif. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan desain korelasional. Sampel penelitian berjumlah 193 responden yang dipilih menggunakan teknik accidental sampling. Alat ukur yang digunakan berupa skala quarter life crisis dan skala subjective well-being yang telah diuji validitas dan reliabilitasnya. Analisis data dilakukan menggunakan uji korelasi Pearson Product Moment. Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan negatif yang signifikan antara quarter life crisis dan subjective well-being (r = -0,412, p &lt; 0,01). Artinya, semakin tinggi tingkat quarter life crisis yang dialami individu, maka semakin rendah tingkat subjective well-being-nya, dan sebaliknya.</p> <p>&nbsp;</p> <p><em>This study aims to determine the relationship between quarter life crisis and subjective well-being in generation Z who are in the age range of 20-30 years. Quarter life crisis is a psychological condition characterized by confusion, anxiety, and uncertainty about the direction of life, while subjective well-being reflects an individual's evaluation of his or her quality of life cognitively and affectively. This study uses a quantitative approach with a correlational design. The research sample amounted to 193 respondents selected using accidental sampling technique. The measuring instruments used are the quarter life crisis scale and the subjective well-being scale which have been tested for validity and reliability. Data analysis was carried out using the Pearson Product Moment correlation test. The results showed a significant negative relationship between quarter life crisis and subjective well-being (r = -0.412, p &lt; 0.01). That is, the higher the level of quarter life crisis experienced by individuals, the lower the level of subjective well-being, and vice versa.</em></p> Yulistika Shinta Ardanis Dewita Karema Sarajar Hak Cipta (c) 2025 Psikofusi: Jurnal Psikologi Integratif 2025-05-30 2025-05-30 7 5