EPILEPSY PATIENTS’ PERCEPTIONS OF FAMILY STIGMA: A PHENOMENOLOGICAL STUDY IN KUPANG CITY

Penulis

  • Huriana Mariani Venna Boreel Universitas Nusa Cendana
  • R. Pasifikus Christa Wijaya Universitas Nusa Cendana
  • Feronika Ratu Universitas Nusa Cendana

Kata Kunci:

Epilepsi, Stigma Keluarga, Interpretasi Fenomenologis

Abstrak

Family stigma is a major psychosocial challenge for individuals with epilepsy, especially in cultures that associate the condition with myth and moral deviance. This study explored how people with epilepsy perceive stigma from their families. A qualitative phenomenological design was applied with five participants aged 19–29 in Kupang City. Data were collected through semi-structured interviews and analyzed using Interpretative Phenomenological Analysis (IPA). Five main themes emerged: (1) Living with epilepsy and negotiating a new life reality; (2) Emotional reactions of shame, inferiority, and despair; (3) Stigma and discrimination through labeling and restriction; (4) Coping strategies through support and spirituality; and (5) Aspirations for a normal life. Family stigma affects not only social interaction but also self-worth and meaning-making. These findings highlight the need for family-based psychoeducation and culturally sensitive stigma interventions that integrate local spiritual values.

Stigma keluarga merupakan tantangan psikososial yang kuat bagi individu dengan epilepsi, terutama dalam budaya yang masih mengaitkannya dengan mitos dan penyimpangan moral. Penelitian ini bertujuan mengeksplorasi bagaimana individu dengan epilepsi memaknai stigma yang bersumber dari keluarga. Pendekatan kualitatif fenomenologis digunakan dengan lima partisipan berusia 19–29 tahun di Kota Kupang. Data diperoleh melalui wawancara semi-terstruktur dan dianalisis menggunakan Interpretative Phenomenological Analysis (IPA). Hasil penelitian menghasilkan lima tema utama, yaitu: (1) Menjalani epilepsi dan menegosiasikan realitas hidup baru; (2) Reaksi emosional berupa rasa malu, inferioritas, dan keputusasaan; (3) Stigma dan diskriminasi yang tampak melalui pelabelan dan pembatasan; (4) Strategi coping melalui dukungan dan spiritualitas; serta (5) Aspirasi untuk hidup normal. Stigma keluarga tidak hanya memengaruhi interaksi sosial, tetapi juga membentuk harga diri dan pemaknaan diri. Temuan ini menegaskan perlunya psikoedukasi berbasis keluarga dan intervensi stigma yang peka terhadap nilai budaya dan spiritual masyarakat.

Unduhan

Diterbitkan

2025-10-30