Jurnal Kritis Studi Hukum
https://ojs.co.id/1/index.php/jksh
id-IDJurnal Kritis Studi HukumTinjauan Yuridis Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Pengeroyokan Di Hubungkan Dengan Pasal 170 KUHP
https://ojs.co.id/1/index.php/jksh/article/view/262
<p>Pasal 170 KUHP mengatur tindak pidana pengeroyokan yang mensyaratkan adanya perbuatan kekerasan secara bersama-sama di muka umum. Namun, praktiknya kerap diterapkan pada perkara dengan satu terdakwa, sementara pelaku lain berstatus DPO. Penelitian ini mengkaji penerapan Pasal 170 KUHP dalam Putusan PN Serang No. 640/Pid.B/2024/PN Srg melalui pendekatan yuridis normatif dan empiris. Hasil penelitian menunjukkan adanya ketidaksesuaian antara dakwaan dan fakta persidangan, serta lemahnya upaya aparat dalam menangani DPO. Kondisi ini menimbulkan potensi ketidakadilan dan menurunkan kepercayaan publik.</p>Rendy SaputraAsnawiFaturohman
Hak Cipta (c) 2025 Jurnal Kritis Studi Hukum
2025-09-192025-09-19108EVALUASI PENERAPAN SANKSI PADA PELANGGAR PASAL 122 HURUF A UNDANG – UNDANG KEIMIGRASIAN
https://ojs.co.id/1/index.php/jksh/article/view/3605
<p>Imigrasi memiliki fungsi dalam hal penegakan hukum keimigrasian. Penegakan hukum merupakan bagian integral dari kedaulatan negara yang bertujuan untuk menjaga stabilitas nasional, termasuk dalam pengawasan terhadap orang asing yang berada di wilayah Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi penerapan sanksi terhadap pelanggar Pasal 122 huruf a Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian. yang mengatur tindak pidana keimigrasian berupa orang asing yang dengan sengaja menyalahgunakan atau melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan izin tinggal. Namun, dalam praktiknya, banyak pelanggaran terhadap pasal ini yang justru hanya dijatuhi tindakan administratif seperti deportasi atau pencantuman dalam daftar cekal, tanpa melalui proses pidana sebagaimana mestinya. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi efektivitas penerapan sanksi pidana sesuai amanat undang-undang serta mengidentifikasi faktor-faktor yang menjadi kendala dalam implementasinya. Melalui pendekatan yuridis normatif dan analisis terhadap studi kasus yang terjadi di lapangan, ditemukan bahwa penerapan sanksi pidana sering kali terhambat oleh kendala teknis, lemahnya koordinasi antar-instansi, hingga pertimbangan politis dan HAM. Konsekuensinya, tujuan hukum untuk memberikan efek jera dan menjaga kedaulatan negara menjadi tidak optimal. Oleh karena itu, perlu adanya reformulasi kebijakan dan penguatan penegakan hukum agar penerapan sanksi terhadap pelanggaran keimigrasian dapat berjalan lebih tegas dan konsisten sesuai ketentuan yang berlaku. Serta diperlukan pelatihan khusus terhadap PPNS Keimigrasian untuk mendukung proses penyidikan.</p> <p><em>Immigration has a function in terms of immigration law enforcement. Law enforcement is an integral part of state sovereignty that aims to maintain national stability, including in the supervision of foreigners in Indonesian territory. This study aims to evaluate the application of sanctions against violators of Article 122 letter a of Law Number 6 of 2011 concerning Immigration. which regulates immigration crimes in the form of foreigners who deliberately abuse or carry out activities that are not in accordance with the residence permit. However, in practice, many violations of this article are only imposed administrative actions such as deportation or inclusion on the prohibited list, without going through the proper criminal process. This study aims to evaluate the effectiveness of the implementation of criminal sanctions according to the mandate of the law and identify factors that are obstacles in its implementation. Through a normative juridical approach and analysis of case studies that occurred in the field, it was found that the application of criminal sanctions is often hampered by technical constraints, weak inter-agency coordination, and political and human rights considerations. Consequently, the purpose of the law to provide a deterrent effect and maintain state sovereignty is not optimal. Therefore, there is a need for policy reformulation and strengthening of law enforcement so that the application of sanctions against immigration violations can run more firmly and consistently in accordance with applicable regulations. And special training is needed for the Immigration PPNS to support the investigation process.</em></p>Rizqi Adi Halimatul AdhaMuhammad Arief HamdiDevina Yuka Utami
Hak Cipta (c) 2025 Jurnal Kritis Studi Hukum
2025-08-302025-08-30108Analisis Yuridis Kebijakan Penjabat Gubernur Banten Tentang Rotasi Mutasi Pejabat Pemprov Banten Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota
https://ojs.co.id/1/index.php/jksh/article/view/355
<p>Kebijakan rotasi dan mutasi pejabat struktural sejumlah 47 Aparatur Sipil Negara di Pemerintah Provinsi Banten oleh Penjabat Gubernur menjelang Pilkada 2024 menimbulkan sorotan publik terkait legalitas normatif dan pengaruhnya terhadap netralitas Aparatur Sipil Negara. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kebijakan rotasi-mutasi tersebut berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah serta menelaah dampaknya terhadap netralitas Aparatur Sipil Negara menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Metode penelitian menggunakan pendekatan yuridis normatif dengan dukungan data empiris melalui wawancara dengan Aparatur Sipil Negara Badan Kepegawaian Daerah Provinsi Banten. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebijakan tersebut sah secara administratif karena mendapat persetujuan Menteri Dalam Negeri, namun tidak sepenuhnya berbasis pada evaluasi kinerja, analisis jabatan, dan kompetensi secara transparan. Kesimpulannya, kebijakan ini meskipun sah secara formal, tidak mencerminkan prinsip meritokrasi dan berpotensi memengaruhi netralitas Aparatur Sipil Negara. Diperlukan reformasi sistem kepegawaian berbasis merit dan pengawasan lebih ketat untuk menjaga profesionalitas birokrasi.</p>Fadli WinataAsnawiFaturohman
Hak Cipta (c) 2025 Jurnal Kritis Studi Hukum
2025-09-102025-09-10108PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN ATAS KETIDAKSESUAIAN HARGA BARANG DALAM TRANSAKSI DI MINIMARKET BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
https://ojs.co.id/1/index.php/jksh/article/view/278
<p>Penelitian ini mengkaji perlindungan hukum terhadap konsumen atas ketidaksesuaian harga barang dalam transaksi di minimarket berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). Fokus penelitian diarahkan pada hak konsumen untuk memperoleh informasi yang benar, jelas, dan akurat, serta bentuk pertanggungjawaban pelaku usaha apabila terjadi ketidaksesuaian harga. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan, konseptual, dan studi kasus di Alfamart Kabupaten Serang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa praktik ketidaksesuaian harga masih sering terjadi, yang pada dasarnya merupakan bentuk pelanggaran terhadap Pasal 4 huruf c dan Pasal 7 huruf b UUPK. Pertanggungjawaban pelaku usaha umumnya dilakukan melalui pengembalian selisih harga atau penyesuaian harga sesuai label di rak, meskipun masih diperlukan pengawasan yang lebih ketat. Penelitian ini menegaskan perlunya penguatan mekanisme perlindungan hukum agar hak konsumen terlindungi secara efektif.</p>Cantika Fajri MelatiRobby NurtresnaDika Ratu Marfu'atun
Hak Cipta (c) 2025 Jurnal Kritis Studi Hukum
2025-09-272025-09-27108BATAS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PENGEMBANG ARTIFICIAL INTELLIGENCE PADA KEJAHATAN SIBER DI INDONESIA
https://ojs.co.id/1/index.php/jksh/article/view/3635
<p>Perkembangan teknologi Artificial Intelligence (AI) membawa dampak besar dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk munculnya peluang baru bagi terjadinya kejahatan siber. Salah satu isu penting yang muncul adalah mengenai batas pertanggungjawaban pidana pengembang AI dalam konteks hukum positif Indonesia. Permasalahan utamanya terletak pada bagaimana asas kesalahan yang menjadi dasar pemidanaan dalam hukum pidana dapat diterapkan terhadap pengembang yang keterlibatannya dengan tindak pidana sering kali bersifat tidak langsung. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dengan menelaah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik beserta perubahannya melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Undang-Undang No. 1 Tahun 2024, serta literatur hukum dan wacana internasional mengenai regulasi AI. Hasil kajian menunjukkan bahwa pengembang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana apabila terbukti secara sengaja menciptakan atau memodifikasi AI untuk melakukan atau memfasilitasi kejahatan siber, maupun apabila terbukti lalai dalam melaksanakan kewajiban kehati-hatian sehingga menimbulkan risiko penyalahgunaan. Jika penyalahgunaan AI dilakukan oleh pihak ketiga tanpa adanya kesalahan dari pengembang, maka tanggung jawab pidana tidak dapat dibebankan. Kondisi ini menunjukan adanya kekosongan norma dalam UU ITE yang belum mengatur secara spesifik posisi pengembang. Untuk menghindari ketidakpastian hukum, diperlukan pengaturan eksplisit mengenai batas pertanggungjawaban pengembang AI, termasuk kriteria kesalahan, indikator hubungan kausal, serta kewajiban due diligence. Dengan demikian, hukum Indonesia dapat memberikan kepastian hukum sekaligus mendorong iklim inovasi yang aman.</p> <p>Perkembangan teknologi Artificial Intelligence (AI) membawa dampak besar dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk munculnya peluang baru bagi terjadinya kejahatan siber. Salah satu isu penting yang muncul adalah mengenai batas pertanggungjawaban pidana pengembang AI dalam konteks hukum positif Indonesia. Permasalahan utamanya terletak pada bagaimana asas kesalahan yang menjadi dasar pemidanaan dalam hukum pidana dapat diterapkan terhadap pengembang yang keterlibatannya dengan tindak pidana sering kali bersifat tidak langsung. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dengan menelaah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik beserta perubahannya melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Undang-Undang No. 1 Tahun 2024, serta literatur hukum dan wacana internasional mengenai regulasi AI. Hasil kajian menunjukkan bahwa pengembang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana apabila terbukti secara sengaja menciptakan atau memodifikasi AI untuk melakukan atau memfasilitasi kejahatan siber, maupun apabila terbukti lalai dalam melaksanakan kewajiban kehati-hatian sehingga menimbulkan risiko penyalahgunaan. Jika penyalahgunaan AI dilakukan oleh pihak ketiga tanpa adanya kesalahan dari pengembang, maka tanggung jawab pidana tidak dapat dibebankan. Kondisi ini menunjukan adanya kekosongan norma dalam UU ITE yang belum mengatur secara spesifik posisi pengembang. Untuk menghindari ketidakpastian hukum, diperlukan pengaturan eksplisit mengenai batas pertanggungjawaban pengembang AI, termasuk kriteria kesalahan, indikator hubungan kausal, serta kewajiban due diligence. Dengan demikian, hukum Indonesia dapat memberikan kepastian hukum sekaligus mendorong iklim inovasi yang aman.</p> <p><em>The development of Artificial Intelligence (AI) technology has had a significant impact on various aspects of life, including the emergence of new opportunities for cybercrime. One important issue that has emerged is the limits of criminal liability for AI developers within the context of Indonesian positive law. The main problem lies in how the principle of fault, which is the basis for criminal punishment in criminal law, can be applied to developers whose involvement in criminal acts is often indirect. This study uses a normative juridical approach by examining the Criminal Code (KUHP), Law Number 11 of 2008 concerning Electronic Information and Transactions and its amendments through Law Number 19 of 2016 and Law Number 1 of 2024, as well as legal literature and international discourse on AI regulation. The results of the study indicate that developers can be held criminally liable if proven to have intentionally created or modified AI to commit or facilitate cybercrime, or if proven negligent in carrying out their duty of care, thus creating a risk of misuse. If the misuse of AI is carried out by a third party without any fault on the part of the developer, criminal responsibility cannot be imposed. This situation indicates a gap in the ITE Law, which does not specifically regulate the position of developers. To avoid legal uncertainty, explicit regulations are needed regarding the limits of AI developers' liability, including criteria for fault, indicators of causal relationships, and due diligence obligations. This way, Indonesian law can provide legal certainty while fostering a safe innovation climate</em></p>Kesya Novita AngelEvi Retno Wulan
Hak Cipta (c) 2025 Jurnal Kritis Studi Hukum
2025-08-302025-08-30108Analisis Yuridis Terhadap Pelanggaran Hak-Hak Pekerja Dalam Perjanjian Kerja Bersama
https://ojs.co.id/1/index.php/jksh/article/view/372
<p>Perjanjian Kerja Bersama (PKB) berfungsi sebagai instrumen hukum untuk mengatur hak dan kewajiban antara pekerja dan pengusaha. Namun, pelaksanaan PKB tidak jarang mengalami pelanggaran yang merugikan hak pekerja. Penelitian ini menganalisis pelanggaran hak pekerja dalam PKB berdasarkan studi kasus nomor 102/PDT.SUS-PHI/2024/PN.SRG di Pengadilan Negeri Seringgi. Pendekatan yang digunakan adalah yuridis normatif dan empiris melalui studi dokumen hukum dan wawancara dengan pihak terkait. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perusahaan melakukan pelanggaran berupa keterlambatan pembayaran upah, tidak terpenuhinya jaminan sosial, dan kurangnya perlindungan keselamatan kerja. Penelitian ini menyimpulkan perlunya penguatan pengawasan dan penegakan hukum dalam pelaksanaan PKB untuk melindungi hak pekerja.</p>Silfiana FebrianiMohammad HifniSafiulloh
Hak Cipta (c) 2025 Jurnal Kritis Studi Hukum
2025-09-192025-09-19108TINJAUAN YURIDIS PERAN BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DALAM MENGAWASI KINERJA KEPALA DESA KATULISAN KECAMATAN CIKEUSAL SESUAI UNDANG UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG DESA Jo. PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR 2 TAHUN 2021 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA
https://ojs.co.id/1/index.php/jksh/article/view/285
<p>Penelitian ini mengkaji peran Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dalam mengawasi kinerja Kepala Desa Katulisan, Kecamatan Cikeusal, Kabupaten Serang. Rumusan masalahnya adalah bagaimana peran BPD berdasarkan UU No. 6 Tahun 2014 jo. Perda Kabupaten Serang No. 2 Tahun 2021 serta kendala yang dihadapi. Tujuan penelitian yaitu menganalisis peran BPD sesuai ketentuan hukum dan menemukan faktor penghambat pengawasan. Metode yang digunakan adalah yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan, konseptual, dan kasus, serta didukung wawancara terbatas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peran BPD secara normatif sudah jelas, namun implementasinya belum optimal sehingga terjadi penyalahgunaan dana desa oleh Kepala Desa dengan kerugian Rp984 juta. Hambatan utama adalah rendahnya pemahaman hukum, keterbatasan anggaran, dan lemahnya koordinasi.</p>Nina AprianingsihMabsutiDika Ratu Marfu'atun
Hak Cipta (c) 2025 Jurnal Kritis Studi Hukum
2025-09-282025-09-28108