https://ojs.co.id/1/index.php/jksh/issue/feedJurnal Kritis Studi Hukum2025-08-30T17:39:03+00:00Open Journal Systemshttps://ojs.co.id/1/index.php/jksh/article/view/3635BATAS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PENGEMBANG ARTIFICIAL INTELLIGENCE PADA KEJAHATAN SIBER DI INDONESIA2025-08-22T02:52:57+00:00Kesya Novita Angel[email protected]Evi Retno Wulan[email protected]<p>Perkembangan teknologi Artificial Intelligence (AI) membawa dampak besar dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk munculnya peluang baru bagi terjadinya kejahatan siber. Salah satu isu penting yang muncul adalah mengenai batas pertanggungjawaban pidana pengembang AI dalam konteks hukum positif Indonesia. Permasalahan utamanya terletak pada bagaimana asas kesalahan yang menjadi dasar pemidanaan dalam hukum pidana dapat diterapkan terhadap pengembang yang keterlibatannya dengan tindak pidana sering kali bersifat tidak langsung. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dengan menelaah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik beserta perubahannya melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Undang-Undang No. 1 Tahun 2024, serta literatur hukum dan wacana internasional mengenai regulasi AI. Hasil kajian menunjukkan bahwa pengembang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana apabila terbukti secara sengaja menciptakan atau memodifikasi AI untuk melakukan atau memfasilitasi kejahatan siber, maupun apabila terbukti lalai dalam melaksanakan kewajiban kehati-hatian sehingga menimbulkan risiko penyalahgunaan. Jika penyalahgunaan AI dilakukan oleh pihak ketiga tanpa adanya kesalahan dari pengembang, maka tanggung jawab pidana tidak dapat dibebankan. Kondisi ini menunjukan adanya kekosongan norma dalam UU ITE yang belum mengatur secara spesifik posisi pengembang. Untuk menghindari ketidakpastian hukum, diperlukan pengaturan eksplisit mengenai batas pertanggungjawaban pengembang AI, termasuk kriteria kesalahan, indikator hubungan kausal, serta kewajiban due diligence. Dengan demikian, hukum Indonesia dapat memberikan kepastian hukum sekaligus mendorong iklim inovasi yang aman.</p> <p>Perkembangan teknologi Artificial Intelligence (AI) membawa dampak besar dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk munculnya peluang baru bagi terjadinya kejahatan siber. Salah satu isu penting yang muncul adalah mengenai batas pertanggungjawaban pidana pengembang AI dalam konteks hukum positif Indonesia. Permasalahan utamanya terletak pada bagaimana asas kesalahan yang menjadi dasar pemidanaan dalam hukum pidana dapat diterapkan terhadap pengembang yang keterlibatannya dengan tindak pidana sering kali bersifat tidak langsung. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dengan menelaah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik beserta perubahannya melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Undang-Undang No. 1 Tahun 2024, serta literatur hukum dan wacana internasional mengenai regulasi AI. Hasil kajian menunjukkan bahwa pengembang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana apabila terbukti secara sengaja menciptakan atau memodifikasi AI untuk melakukan atau memfasilitasi kejahatan siber, maupun apabila terbukti lalai dalam melaksanakan kewajiban kehati-hatian sehingga menimbulkan risiko penyalahgunaan. Jika penyalahgunaan AI dilakukan oleh pihak ketiga tanpa adanya kesalahan dari pengembang, maka tanggung jawab pidana tidak dapat dibebankan. Kondisi ini menunjukan adanya kekosongan norma dalam UU ITE yang belum mengatur secara spesifik posisi pengembang. Untuk menghindari ketidakpastian hukum, diperlukan pengaturan eksplisit mengenai batas pertanggungjawaban pengembang AI, termasuk kriteria kesalahan, indikator hubungan kausal, serta kewajiban due diligence. Dengan demikian, hukum Indonesia dapat memberikan kepastian hukum sekaligus mendorong iklim inovasi yang aman.</p> <p><em>The development of Artificial Intelligence (AI) technology has had a significant impact on various aspects of life, including the emergence of new opportunities for cybercrime. One important issue that has emerged is the limits of criminal liability for AI developers within the context of Indonesian positive law. The main problem lies in how the principle of fault, which is the basis for criminal punishment in criminal law, can be applied to developers whose involvement in criminal acts is often indirect. This study uses a normative juridical approach by examining the Criminal Code (KUHP), Law Number 11 of 2008 concerning Electronic Information and Transactions and its amendments through Law Number 19 of 2016 and Law Number 1 of 2024, as well as legal literature and international discourse on AI regulation. The results of the study indicate that developers can be held criminally liable if proven to have intentionally created or modified AI to commit or facilitate cybercrime, or if proven negligent in carrying out their duty of care, thus creating a risk of misuse. If the misuse of AI is carried out by a third party without any fault on the part of the developer, criminal responsibility cannot be imposed. This situation indicates a gap in the ITE Law, which does not specifically regulate the position of developers. To avoid legal uncertainty, explicit regulations are needed regarding the limits of AI developers' liability, including criteria for fault, indicators of causal relationships, and due diligence obligations. This way, Indonesian law can provide legal certainty while fostering a safe innovation climate</em></p>2025-08-30T00:00:00+00:00Hak Cipta (c) 2025 Jurnal Kritis Studi Hukumhttps://ojs.co.id/1/index.php/jksh/article/view/3605EVALUASI PENERAPAN SANKSI PADA PELANGGAR PASAL 122 HURUF A UNDANG – UNDANG KEIMIGRASIAN2025-08-11T07:31:29+00:00Rizqi Adi Halimatul Adha[email protected]Muhammad Arief Hamdi[email protected]Devina Yuka Utami[email protected]<p>Imigrasi memiliki fungsi dalam hal penegakan hukum keimigrasian. Penegakan hukum merupakan bagian integral dari kedaulatan negara yang bertujuan untuk menjaga stabilitas nasional, termasuk dalam pengawasan terhadap orang asing yang berada di wilayah Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi penerapan sanksi terhadap pelanggar Pasal 122 huruf a Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian. yang mengatur tindak pidana keimigrasian berupa orang asing yang dengan sengaja menyalahgunakan atau melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan izin tinggal. Namun, dalam praktiknya, banyak pelanggaran terhadap pasal ini yang justru hanya dijatuhi tindakan administratif seperti deportasi atau pencantuman dalam daftar cekal, tanpa melalui proses pidana sebagaimana mestinya. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi efektivitas penerapan sanksi pidana sesuai amanat undang-undang serta mengidentifikasi faktor-faktor yang menjadi kendala dalam implementasinya. Melalui pendekatan yuridis normatif dan analisis terhadap studi kasus yang terjadi di lapangan, ditemukan bahwa penerapan sanksi pidana sering kali terhambat oleh kendala teknis, lemahnya koordinasi antar-instansi, hingga pertimbangan politis dan HAM. Konsekuensinya, tujuan hukum untuk memberikan efek jera dan menjaga kedaulatan negara menjadi tidak optimal. Oleh karena itu, perlu adanya reformulasi kebijakan dan penguatan penegakan hukum agar penerapan sanksi terhadap pelanggaran keimigrasian dapat berjalan lebih tegas dan konsisten sesuai ketentuan yang berlaku. Serta diperlukan pelatihan khusus terhadap PPNS Keimigrasian untuk mendukung proses penyidikan.</p> <p><em>Immigration has a function in terms of immigration law enforcement. Law enforcement is an integral part of state sovereignty that aims to maintain national stability, including in the supervision of foreigners in Indonesian territory. This study aims to evaluate the application of sanctions against violators of Article 122 letter a of Law Number 6 of 2011 concerning Immigration. which regulates immigration crimes in the form of foreigners who deliberately abuse or carry out activities that are not in accordance with the residence permit. However, in practice, many violations of this article are only imposed administrative actions such as deportation or inclusion on the prohibited list, without going through the proper criminal process. This study aims to evaluate the effectiveness of the implementation of criminal sanctions according to the mandate of the law and identify factors that are obstacles in its implementation. Through a normative juridical approach and analysis of case studies that occurred in the field, it was found that the application of criminal sanctions is often hampered by technical constraints, weak inter-agency coordination, and political and human rights considerations. Consequently, the purpose of the law to provide a deterrent effect and maintain state sovereignty is not optimal. Therefore, there is a need for policy reformulation and strengthening of law enforcement so that the application of sanctions against immigration violations can run more firmly and consistently in accordance with applicable regulations. And special training is needed for the Immigration PPNS to support the investigation process.</em></p>2025-08-30T00:00:00+00:00Hak Cipta (c) 2025 Jurnal Kritis Studi Hukum